Rabu, 31 Agustus 2011

UTOPIA ABU-ABU




Utopia Ideal dalam paradigma lama saya

Mulanya saya hendak menulis tentang utopia, saya membayangkan bahwa utopia ideal saya adalah sebuah tempat di mana para seniman memiliki kebebasan yang sebebas-bebasnya untuk mengekspresikan pikiran mereka yang tak terbatas dalam berbagai bentuk buah pikir: tulisan, cerita, film, lukisan, sketsa, drama, dan sebagainya, tanpa bayangan gunting sensor yang menyeramkan. Sebuah dunia yang tentu khayal, di mana mereka dapat berlari, menari, berlompatan, telanjang, bebas lepas, tanpa dibatasi dinding-dinding norma, moral, budaya, agama, kepantasan.

Penyensoran

Penyensoran, bagi saya adalah suatu bentuk ekspresi ketakutan yang dilakukan oleh mereka yang memiliki otoritas terhadap para pelaku seni yang menciptakan karya-karya yang mampu mencederai pandangan idealis mereka terhadap segala norma dan etika yang sedang berlaku demi keteraturan masyarakat. Tapi apa asyiknya hdup dalam masyarakat yang teratur?

Masyarakat yang teratur, itu adalah mimpi para pemimpin negara, atau lebih tepatnya janji-janji para calon penguasa, hipokrasi besar-besaran, tapi perwujudannya nanti dulu. Pembodohan publik dan itu semua bukanah impian saya, tidak ada hubungannya dengan impian saya. Impian saya cukup egosentris, tapi toh itu hanya mimpi, saya berhak bermimpi seegois mungkin. Secara ideal, masyarakat yang teratur dibutuhkan demi keamanan lingkungan. Keamanan lingkungan itu penting, tapi kebebasan berekspresi jauh lebih penting, orang-orang sok suci itu suck, dan wanita telanjang itu indah – tentu saja ini hanyalah sebagian contoh paling ekstrim, tapi setiap orang yang membacanya tentu akan langsung mengerti pola pikir saya. Saya adalah seorang yang ‘kiri’ dalam sebagian aspek, saya adalah pemberontak, saya melawan konservatisme dan konvensionalisme, walau tidak secara absolut, karena tentu saja sebagai manusia yang hidup di bumi, pasti masih ada beberapa nilai konservatif nan
konvensoinal yang secara tidak sadar masih saya anut.

Karena pandangan saya tersebut, siapapun boleh mengatakan saya egois dan gila, lebih banyak orang yang suka tinggal di zona nyaman dengan kebebasan yang terenggut daripada memperjuangkan kebebasan itu dan dianggap ‘Freak’. Saya memilih jadi ‘Freak’, yang penting saya bukan seorang hipokrit. Orang boleh mengatakan apapun tentang abnormalitas yang berbuah dari kepala saya, tapi saya tidak akan peduli, ini hanyalah sebuah opini, di sini bukan Cina, dan saya bebas berpendapat. Walaupun nanti, ada orang-orang yang tergerak hatinya setelah membaca tulisan ini, karena memiliki kerinduan yang sama dengan saya, otoritas-otoritas di atas kami tentu saja memiliki kekuasaan yang lebih kuat untuk memberangus siapapun yang hendak mewujudkan utopia tersebut. Segala upaya pembentukan utopia semacam itu akan disensor, jadi biarlah utopia itu menjadi fantasi semata, fantasi yang akan selalu hidup di kepala saya, dan mereka yang memiliki kerinduan serupa. Lagipula saya telah menemukan bentuk utopia baru yang lebih asyik. Kompromi bukanlah masalah besar.
Utopia Baru

Berbagai hal yang saya alami selama 22 tahun ini telah menciptakan saya yang hari ini menulis opini ini. Secara sadar, saya adalah seorang pemberontak. Bila di telinga orang-orang konservatif kata-kata ‘rebel’ terdengar mengerikan dan mengancam, bagi saya, kata-kata itu terdengar manis, dan menggambarkan diri saya sendiri. Saya ingat, seorang pembawa firman pernah berseru di atas mimbar: ‘pergilah roh-roh pemberontakan!’
Melalui daya pikir yang saya miliki, Tuhan telah menutun saya, ke dalam utopia baru tersebut. Saat opini ini ditulis hari ini, saya tahu bahwa saya sudah sampai ke dalam utopia yang menyenangkan itu: dunia nyata. Dunia tempat saya hidup sehari-hari, namun saya menatapnya dengan paradigma idealis; melalui isi kepala yang telah didekorasi dengan berbagai pikiran kreatif, tanpa perlu mempertimbangkan moral dan aturan.

Utopia baru bukanlah Yerusalem Baru. Utopia adalah bentuk surga duniawi, Yerusalem Baru adalah Tanah Suci di Surga sungguhan, di mana kaum Muslim, Yahudi, dan Kristen akan saling berangkulan, berciuman, bercengkrama, dan bercumbu mesra, sambil bersujud bersama-sama, menyembah Tuhan yang satu dan Esa. Utopia baru saya dapat terwujud di bumi, jauh lebih cepat daripada menantikan Yerusalem baru turun ke bumi.
Utopia tersebut adalah sebuah surga abu-abu. Bukan abu-abu secara harafiah, tapi abu-abu sebagai zona. Zona tanpa kepastian benar dan salah. Zona Kontroversi! Ambigu dan banci! Semuanya dimulai saat saya berusaha menulis tentang idealisme saya tentang utopia yang lama, dalam perenungan itu, tiba-tib saja pikiran saya memberontak, roh saya berbisik mengingatkan: ‘kamu yakin mau tinggal di tempat seperti itu?’

Kemudian saya tersadar, tanpa adanya tembok-tembok laknat tersebut, saya yang kreatif hari ini, tidak akan pernah ada. Bila sepanjang hidupnya, manusia hanya mendapatkan penerimaan dan pujian, tanpa ada konflik dan kritik, di mana tantangannya? Tantanganlah yang membuat manusia memerah otaknya sampai seluruh sarinya keluar hingga tetes terakhir, membuahkan budaya, agama, moral, etika, dan segala-galanya. Jika Adam dan Hawa tidak pernah menyentuh buah terlarang, manusia akan tetap telanjang, menjadi salah satu spesies mamalia di taman firdaus, hidup seperti simpanse, dan fashion… nereka akan bertanya, apa itu fashion? Seperti mereka bertanya, apa itu internet, mobil, rumah, istana,dan segala yang terlalu jauh bagi pikiran mereka yang hidup dengan dimanjakan oleh Sang Pencipta. Daya pikir homo sapiens sapiens, kapasitasnya yang besar, tidak akan pernah terpakai, kasarnya, sia-sia saja punya otak. (atau mungkin Tuhan baru menganugerahkan otak pada manusia ketika mereka diusir dari taman Firdaus)

Kontroversi dan Teori 10 Komunitas

Utopia saya, Abu-abu, adalah sebuah Utopia penuh kontroversi. Setiap orang yang mengenal saya secara personal mengetahui bahwa saya begitu mencintai kontroversi.
Kenapa kontroversi? Karena melalui kontroversilah, saya dapat meraih ketenaran. Tentu saja saya ingin terkenal. Tidak semua orang ingin terkenal, tapi saya ingin, dan saya harus mempublikasikan diri saya sendiri, sebelum menjadi cukup terkenal untuk kemudian dipublikasikan oleh orang lain. Kontroversi adalah jalan tercepat untuk meraihnya.

Seseorang pernah berkata kepada saya: ‘jika kamu berada dalam 10 komunitas, dan kamu tahu 8 komunitas merasa terganggu karena kehadiranmu, kamu harus introspeksi, kemudian berusaha berkompromi, sehingga dapat diterima di komunitas yang lain’ Berkompromi, berarti saya harus mengimitasi gaya dan tingkah laku orang-orang lain yang dianggap ‘normal’ di dalam ke-8 komunitas tersebut. Menjadi seragam demi kenyamanan masyarakat. Terkungkung di bawah otoritas, menjadi tidak original.
Imitasi dari nilai-nilai yang dianggap ideal, dengan cara itulah semua orang dibesarkan, beberapa meneruskannya dan terus hidup terkungkung di dalam kotak untuk selama-lamanya, dengan menyimpan kecenderungan aneh mereka dalam-dalam dalam relung tergelap dalam hati mereka. Tapi dengan kontroversi yang kreatif, atau kreativitas yang kontroversial, saya mampu menghancurkan tembok laknat di sisi kanan dan kiri saya, atau paling tidak menggali dasarnya, atau hal apapun yang lainnya, untuk keluar dari kotak itu, sehingga saya beroleh perhatian dari publik.
Perhatian dari publik yang terus menerus, membantu saya meraih ketenaran. Siapapun berhak membenci saya, tapi inilah saya. Bahkan sesungguhnya dengan membenci sayapun, mereka telah memberikan sebuah ruang yang dapat saya huni dalam pikiran mereka. Ketenaran, bagi saya berarti membangun sebuah ruang di dalam pikiran seseorang untuk dapat saya tinggali, sehingga mereka dapat mengasosiaikan suatu keadaan yang mereka alami dengan diri saya. Dalam hal ini dibenci dan disukai, memiliki efek yang relatif sama.

Dalam nuda veritas-nya, Klimt mengutip kata-kata Johann Frederich Schiller yang sangat menginspirasi saya: ‘Kaanst du nicht allen gefallem durch deinethat und dein kunstwerk, mach es wenigen recht. Vielen gefallen ist schimm’ – ‘jika engkau tidak dapat memuaskan semua orang dengan kata-kata dan karya senimu, puaskanlah yang sedikit, tapi menyukainya. To please many is bad’. Untuk dapat memuaskan semua orang, itu adalah usaha yang sia-sia. Sebaik apapun seorang manusia berkarya, tetap saja selalu ada oknum-oknum lain yang beruaha mencari kejelekan karya tersebut.
Kembali pada teori 10 komunitas tersebut. Walaupun berkompromi dan mengimitasi hal-hal menyebalkan itu rasanya tidak mungkin dielakkan, saya masuh dapat menerimanya, demi kelangsungan hidup di dunia. Saya adalah aktor theather, saya dapat berkompromi dan menjilati muka orang-orang yang berada di 8 komunitas tersebut, membuat mereka tertawa bangga karena mereka pikir telah dapat menaklukkan saya, tanpa mereka tahu apa yang dapat saya lakukan di balik punggung mereka. Kondisi Utopia baru ini sangat jauh dari utopia lama saya. Utopia baru ini didirikan di atas dunia yang penuh hipokripsi, yang menyebabkan saya terkadang berlaku bagaikan hipokrit. Saya adalah hipoktit bagi kedelapan komunitas itu, karena apa yang ada dalam hati saya belum tentu sama dengan apa yang ada di wajah atauun perilaku saya.

Suatu saat, di waktu yang tepat, saya akan melepaskan topeng-topeng hipokripsi itu, berhenti berakting, dan menjadi diri saya sendiri, karena sebaik apapun saya berkompromi, jika saya pernah menjadi ‘buruk’ di mata mereka, saya akan tetap menjadi ‘barang cacat’ atau dilabeli ‘mantan barang cacat’. Manusia selalu mengingat cacat, dan mendengar orang-orang tersebut mengatakan ‘Jonathan sudah berubah’ dengan senyum palsu di wajah mereka adalah hal yang menjijikkan. Saya adalah manusia yang penuh kebanggaan dan puas pada pola pikir saya hari ini, saya tidak merasa butuh perubahan, saya hidup dengan kebanggan, dan akan terus seperti itu, jika saya berubah, berarti saya akan menganggap hidup yang saya jalani hari ini adalah sebuah kehinaan. Itu bukan saya. Seperti kata Schiller, saya tidak perlu memaksakan diri untuk memuaskan 8 komunitas itu, saya juga tidak membutuhkan penerimaa penuh dari mereka, biarlah hubungan yang terjalin itu menjadi sebuah simbiosis mutualisme sekedarnya. Karena sesungguhnya, saya hanya akan mengabdikan diri saya kepada 2 komunitas lain yang menerima saya dan memandang saya penuh kagum dan hormat.
Saya hanya akan berpura-pura baik bila saya harus melakukannya. Saya benci melakukannya, tapi jika tidak dilakukan bisa saja orang menyerang saya secara mutlak dan membabi buta, jadi saya memuruskan untuk berakting sebagai sesorang yang praktis dan menyukai kenyamanan. Hipokripsi itu tidak nyaman. Kontroversi itu nyaman dan menyenangkan, konflik itu mutlak diperlukan. Dan dunia ini hanyalah panggung sandiwara.

Utopia saya hari ini adalah utopia yang didasari oleh pemikiran-pemikiran dan karya-karya kreatif yang kontroversial, tidak semua orang harus menyukai saya, karena jika semua orang menyukai saya, maka saya tidak lagi menjadi bom kontroversi. Jika utopia saya yang pertama terwujud, saya hanya akan menjadi 1 dari sekian banyak seniman yang bebas berekspresi. TapI di utopia baru ini, saya akan menjadi satu-satunya Jonathan Chanutomo. Di atas dasar itu berdirilah konflik . Konflik terbuka, maupun kompetisi. Saya membutuhkan konflik sebagai cemeti yang menyakitkan, tapi dapat menggiring saya menuju daya pikir yang lebih tinggi dan menghasilkan karya yang lebih, lebih, dan lebih kreatif dari yang telah tercipta sebelumnya. Konflik dapat membantu manusia untuk meraih pencapaian tertingginya dalam waktu relatif singkat.

Tujuan dari setiap perang adalah kedamaian. Kedamaian di pihak yang kalah maupun yang menang. Saya ingin berada di pihak pemenang, karena itulah konflik memacu saya untuk terus lebih baik, dan jauh lebih baik lagi. Mendirikan menara-menara kreativitas di atas utopia tersebut, menjadi naga, dan menginjak lawan-lawan yang tertaklukan, menyadarkan bahwa mereka hanyalah belatung di bawah telapak kaki saya.
Langit Utopia itu tidak terlalu tinggi. Bintang-bintang bergantungan di sana. Saya tinggal berlari ke atas menara-menaranya, dan mengumpulkan bintang-bintang itu, terbentang sejauh mata memandang dari timur sampai ke barat.